Rabu, 24 Desember 2008

Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik Karl Marx (1859)

Penerjemah: Anonim




Saya meneliti sistem ekonomi borjuis dengan urutan sebagai berikut: kapital, kepemilikan tanah, buruh-upahan; Negara, perdagangan luar negeri, pasar dunia. Kondisi ekonomi dari keberadaan tiga kelas besar, yang mana membagi masyarakat borjuis modern, dianalisis di bawah ketiga judul yang pertama; hubungan dari ketiga judul yang lain sudah tidak perlu dibuktikan. Bagian pertama dari buku yang pertama, yang membahas mengenai Kapital, terdiri dari bab-bab berikut ini: 1. Komoditas, 2. Uang atau sirkulasi sederhana, 3. Kapital secara umum. Bagian yang sekarang ini terdiri dari dua bab. Seluruh bahan terletak di depan saya dalam bentuk monografi, yang ditulis bukan untuk publikasi melainkan untuk klarifikasi-diri pada periode-periode yang sangat terpisah; pembentukannya ke dalam suatu keseluruhan yang terintegrasi, sesuai dengan rencana yang telah saya tunjukkan, akan tergantung dari keadaan.

Sebuah pengantar yang umum, yang telah saya susun, telah saya hilangkan, karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut, pengantar tersebut tampak membingungkan bagi saya untuk mengantisipasi hasil-hasil yang masih perlu diperkuat, dan pembaca yang ingin mengikuti saya harus memutuskan untuk maju dari yang khusus ke yang umum. Beberapa catatan tentang studi-studi politik-ekonomi yang saya lakukan sendiri mungkin pada tempatnya di sini.

Subjek studi-studi profesional saya ialah ilmu hukum, tetapi yang saya ambil dalam hubungannya dengan, dan sekunder terhadap, studi-studi filsafat dan sejarah. Dalam tahun-tahun 1842-1843, sebagai editor Rheinische Zeitung, saya mula-mula canggung pada waktu saya harus ikut serta dalam diskusi-diskusi mengenai apa yang disebut kepentingan-kepentingan material. Jalannya sidang-sidang pada Majelis Rhein berhubungan dengan pencurian-pencurian kayu di hutan, dan pembagian lanjutan dari hak milik tanah yang bersifat ekstrim; pertentangan resmi tentang keadaan kaum tani di Mosel, di mana Herr von Schaper, saat itu menjabat Presiden Provinsi Rhein, bersengketa melawan Rheinische Zeitung; akhirnya perdebatan mengenai perdagangan bebas dan proteksi; semuanya ini memberi rangsangan pertama kepada saya untuk memulai studi mengenai masalah-masalah ekonomi. Pada waktu yang sama, gema yang lemah dan bersifat filosofis-semu dari sosialisme dan komunisme Prancis terdengar dalam Rheinische Zeitung waktu itu, tatkala maksud-maksud baik untuk "maju terus" jauh melebihi pengetahuan tentang fakta. Saya bertekad melawan pendekatan yang amatir itu, tetapi harus mengakui serta-merta dalam suatu pertentangan dengan Allgemeine Augsburger Zeitung bahwa studi-studi saya sebelumnya tidak memungkinkan saya untuk mencoba mengemukakan penilaian mandiri mengenai isi dari pemikiran aliran-aliran Perancis itu. Karena itu, tatkala para penerbit Rheinische Zeitung mempunyai ilusi bahwa dengan kebijakan yang kurang agresif surat kabar itu dapat diselamatkan dari hukuman mati yang dijatuhkan pada harian itu, maka dengan senang hati saya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengundurkan diri dari kehidupan umum dan masuk ke dalam ruangan studi saya.

Karya pertama yang saya kerjakan untuk memecahkan masalah yang merisaukan saya ialah suatu tinjauan kembali atas karya Hegel: Philosophy of Law (Filsafat Hukum); Pengantar bagi karya itu tercantum dalam Deutsch-Franszosiche Jahrbücher yang diterbitkan di Paris dalam tahun 1844. Berkat studi-studi saya, saya berkesimpulan bahwa hubungan-hubungan hukum, dan dengan demikian pula bentuk-bentuk negara, tidak dapat dipahami secara tersendiri, pun tidak dapat diterangkan atas dasar apa yang disebut kemajuan umum pikiran manusia, tetapi bahwa hal-hal itu berakar dalam kondisi-kondisi materiel dari kehidupan, yang oleh Hegel disimpulkan menurut cara Inggris dan Prancis abad kedelapan belas di bawah sebutan civil society (masyarakat sipil); anatomi masyarakat itu harus dicari di dalam teori ekonomi. Studi mengenai bidang ini, yang saya mulai di Paris, saya lanjutkan di Brussel, yaitu kota ke mana saya pindah setelah adanya perintah pengusiran yang dikeluarkan oleh Tuan Guizot. Kesimpulan umum yang saya capai dan yang, sekali dicapai, terus berfungsi sebagai garis penuntun dalam studi-studi saya, secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya. Pada suatu tahap dalam perkembangannya, kekuatan-kekuatan produksi materiel dalam masyarakat bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau-yang hanya merupakan bahasa hukum bagi hal yang sama-bertentangan dengan hubungan-hubungan hak milik di tempat orang itu bekerja sebelumnya. Hubungan-hubungan ini berubah dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan-kekuatan produksi menjadi belenggu-belenggu mereka. Kemudian sampailah masa revolusi sosial. Dengan perubahan fondasi ekonomi, maka seluruh struktur atas yang sangat besar cepat atau lambat akan berubah. Dalam memikirkan perubahan-perubahan seperti itu, harus selalu dibedakan antara perubahan materiel dari kondisi-kondisi ekonomi bagi produksi yang dapat ditentukan dengan kecermatan ilmu pengetahuan alam, dan bentuk-bentuk hukum, politik, keagamaan, estetika, atau filsafat-pendek kata, bentuk-bentuk ideologis-dalam bentuk-bentuk mana orang menjadi sadar tentang konflik ini dan berjuang untuk menyelesaikannya. Seperti pun kita tidak mendasarkan pendapat kita tentang individu atas apa yang dipikirkannya tentang dirinya, demikian pula kita tidak dapat menilai masa perubahan seperti itu atas dasar kesadarannya sendiri; bahkan sebaliknya, kesadaran ini harus lebih dijelaskan dari segi kontradiksi-kontradiksi kehidupan materiel, dari segi konflik yang ada antara kekuatan-kekuatan sosial yang berproduksi dan hubungan-hubungan produksi. Tidak ada tata sosial pernah lenyap sebelum semua kekuatan produktif yang bisa ditampungnya telah berkembang semuanya dan hubungan-hubungan produksi baru yang lebih tinggi tidak akan pernah timbul sebelum kondisi-kondisi materiel bagi eksistensinya telah matang di dalam kandungan masyarakat lama. Karena itu, manusia hanya selalu menangani masalah-masalah yang dapat dipecahkannya, karena-jikalau kita meninjau masalahnya secara lebih cermat-kita akan selalu melihat bahwa masalahnya sendiri timbul hanya apabila kondisi-kondisi materiel yang perlu bagi pemecahannya sudah ada atau sekurang-kurangnya dalam proses pembentukan. Secara garis besar kita dapat menyatakan cara-cara berproduksi Asia, feodal, dan borjuis modern sebagai sekian banyak zaman di dalam kemajuan pembentukan ekonomi masyarakat. Hubungan-hubungan produksi borjuis merupakan bentuk antagonistis yang terakhir dari proses sosial dalam produksi-bersifat antagonistis bukannya dalam arti antagonisme individual, melainkan antagonisme yang timbul dari kondisi-kondisi yang mengelilingi kehidupan individu-individu dalam masyarakat; pada waktu yang sama kekuatan-kekuatan produktif yang berkembang di dalam kandungan masyarakat borjuis menciptakan kondisi-kondisi materiel bagi pemecahan antagonisme itu. Karena itu, formasi sosial ini merupakan bagian penutup dari tahap prehistoris masyarakat manusia.

Friedrich Engels yang terus-menerus bersurat-suratan dan tukan menukar gagasan-gagasan dengan saya sejak essai kritisnya yang sangat pandai perihal kategori-kategori ekonomi (dalam Buku-Buku Tahunan Perancis [Deutsch-Französiche Jahrbücher]), sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang sama dengan kesimpulan saya walaupun ia melalui jalan lain (lihat bukunya: Kondisi Kelas Pekerja di Inggeris [Condition of the Working Class in England]). Tatkala ia pun menetap di Brussel dalam musim semi 1845, kami memutuskan untuk menggarap bersama tentang kontras antara pandangan kami dan filsafat idealisme Jerman; sesungguhnya, kami hendak membereskan hutang kami kepada hati nurani filosofis kami yang dahulu. Rencana itu dilaksanakan dalam bentuk kritik terhadap filsafat sesudah Hegel. Naskah dalam dua jilid oktavo yang tebal telah lama sampai pada penerbit di Westphalia ketika kami menerima informasi bahwa keadaan sudah begitu berubah sehingga penerbitan karya itu tidak mungkin dilakukan. Kami tinggalkan manuskrip itu dan membiarkannya dikritik tikus-tikus dengan giginya yang tajam karena kami telah mencapai tujuan utama kami-yaitu menjernihkan persoalan itu bagi kami sendiri. Dari tulisan-tulisan kami yang tersebar mengenai berbagai subyek di mana kami menyajikan pandangan-pandangan kami kepada khalayak ramai pada waktu itu, saya hanya ingat Manifesto Partai Komunis (Manifesto of the Communist Party), yang ditulis oleh Engels dan saya, dan Pembahasan tentang Perdagangan Bebas (Discourse on Free Trade) yang saya tulis sendiri. Gagasan-gagasan utama dari teori kami itu mula-mula disajikan secara ilmiah walaupun dalam bentuk polemik, dalam karya saya Kesengsaraan Filsafat (Misere de la Philosophie), dan sebagainya, yang diarahkan kepada Proudhon dan diterbitkan pada tahun 1847. Satu essai tentang Tenaga Kerja Upahan (Wage Labor) yang saya tulis di Jerman, dan di mana saya mengumpulkan kuliah-kuliah saya mengenai subjek itu di depan Perkumpulan Kaum Buruh Jerman di Brussel, dicegah pencetakannya dalam revolusi Februari dan oleh pengusiran saya dari Belgia sebagai akibat revolusi itu.

Penerbitan Neue Rheinische Zeitung di tahun 1848 dan tahun 1849, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian, menghentikan studi-studi saya mengenai ekonomi, yang baru saya bisa mulai lagi pada tahun 1850 di London. Bahan yang luar biasa banyaknya tentang teori ekonomi yang bertumpuk di British Museum; pemandangan yang menguntungkan yang disajikan London untuk mengamati masyarakat borjuis; dan akhirnya, tahap perkembangan baru yang nampaknya mulai dimasuki masyarakat borjui

Pendahuluan pada Sumbangan untuk Kritik terhadap Filsafat Hak Hegel Karl Marx (1844)

Sumber: Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right. Karl Marx in Deutsch-Franzosische Jahrbucher, February 1844

Penerjemah:: Anonim. Diedit oleh Ted Sprague (Januari 2007)





Di Jerman, kritik terhadap agama secara garis besar sudahlah lengkap, dan kritik terhadap agama merupakan prasyarat untuk seluruh kritik.

Keberadaan atau eksistensi yang kafir dari kesalahan segera dikompromi setelah kesurgaan oratio pro aris et focis (“pidato di depan altar dan muka perapian”) telah terbukti salah. Manusia, yang hanya menemukan refleksi dirinya sendiri di dalam realitas surga fantasi, dimana dia mencari seorang dewa, tidak lagi akan bersedia untuk hanya mendapati pencerminan diri itu -- cuma mendapati seorang non-manusia [Unmesch], dimana dia mencari dan harus mencari realitasnya yang sejati.

Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan dirinya sendiri atau sudah kehilangan dirinya sendiri. Namun manusia bukanlah suatu makhluk abstrak yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia -- negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, yang merupakan sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah dunia yang terbalik. Agama merupakan teori umum tentang dunia tersebut, ringkasan ensikopledia dunia tersebut, logikanya di dalam bentuk yang populer, point d’honneur spiritual dunia tersebut, antusiasmenya, otoritas moralnya, pelengkapnya, dan basis penghibur dan pembenarannya yang universal. Agama merupakan realisasi inti manusia yang penuh khayalan (fantasi) karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan sebuah dunia yang aroma spiritualnya adalah agama tersebut.

Kesengsaraan agamis merupakan ekspresi kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan yang nyata tersebut. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama adalah candu rakyat.

Menghapuskan agama sebagai kebahagiaan ilusioner untuk rakyat, berarti menuntut agar rakyat dibahagiakan dalam kenyataan. Maka, panggilan supaya mereka melepaskan ilusi tentang keadaan mereka adalah panggilan agar mereka melepaskan keadaan di mana ilusi itu diperlukan. Maka, kritik terhadap agama adalah embrio dari kritik terhadap dunia yang penuh kesedihan dimana agama merupakan cahaya lingkaran sucinya.

Kritik telah merenggut bunga-bunga ilusioner dari rantai, bukan supaya manusia akan terus mengenakan rantai yang tak terhias dan suram itu, melainkan agar dia melepaskan rantai itu dan memetik bunga yang nyata. Kritik terhadap agama menghancurkan ilusi manusia, supaya dia berpikir, bertindak, dan menghiasi kehidupan nyatanya seperti seorang manusia yang telah menyingkirkan ilusi-ilusinya dan memperoleh kembali kesadarannya, supaya dia bergerak memutari dirinya seperti mataharinya sendiri. Agama hanyalah matahari ilusi yang berputar mengitari manusia selama dia tidak berputar mengitari dirinya sendiri.

Maka begitu dunia di luar kebenaran itu hilang, tugas ilmu sejarah adalah untuk memastikan kebenaran dunia nyata ini. Begitu bentuk suci dari keterasingan manusia telah kehilangan topengnya, maka tugas filsafat, yang menjadi pembantu ilmu sejarah, adalah untuk segera mencopot topeng keterasingan dalam bentuk-bentuk yang tak suci. Sehingga kritik terhadap surga menjelma menjadi kritik terhadap alam nyata; kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik.

Eksposisi berikut ini [setelah Pendahuluan ini, sebuah studi kritikal terhadap Filsafat Hak Hegel rencananya akan ditulis – Catatan Penerjemah] – sebuah kontribusi untuk usaha ini – tidak menyangkut dirinya dengan yang orisinil tetapi dengan kopinya, dengan Filsafat negara dan hukum German. Satu-satunya alasan untuk ini adalah karena eksposisi ini hanya menyangkut negara Jerman.

Bila kita memulai dengan status quo Jerman itu sendiri, hasilnya akan tetap menjadi anakronisme bahkan bila kita melakukannya dengan benar, yaitu secara negatif. Bahkan penyangkalan [negasi] terhadap situasi politik kita sekarang ini adalah fakta yang tua di dalam sampah sejarah negara-negara moderen. Bila saya menyangkal rambut poni yang dibedaki, saya tetap akan tersisa dengan rambut poni yang tak terbedaki. Bila saya menyangkal situasi di Jerman pada tahun 1843, maka berdasarkan kalender Prancis, saya tidak mencapai 1789, sebuah pusat perhatian jaman kita sekarang ini yang kurang penting daripada 1843.

Benar, sejarah Jerman membanggakan dirinya sendiri sebagai negara yang berjalan di jalan yang tidak pernah dijalani oleh negara manapun di seluruh sejarah, atau tidak akan pernah dijalani kembali. Kita telah mengalami Restorasi [Restorasi Monarki – catatan penerjemah] negara-negara moderen tanpa pernah mengalami revolusi mereka. Kita terestorasi, pertama-tama karena negara-negara yang lain berani menggalang revolusi, dan kedua karena negara-negara yang lain menderita konter-revolusi; dalam satu pihak, karena tuan-tuan penguasa kita ketakutan, dan di pihak yang lain karena mereka tidak takut. Dengan gembala kita di depan, kita hanya ditemani oleh kebebasan sekali saja, pada hari kebebasan itu dipenjara.

Satu filsafat yang memberikan legitimasi terhadap kekejian sekarang dengan kekejian yang dulu, sebuah filsafat yang memberikan stigma pemberontakan kepada tangisan petani terhadap pecutan saat dimana pecutan tersebut telah menua sedikit dan memperoleh sebuah arti turun-temurun dan sejarah, sebuah filsafat dimana sejarah hanya menunjukkan a posteriori, seperti Tuhan Israel kepada hambanya Musa, filsafat sejarah hukum – filsafat ini akan menulis sejarah Jerman bila dirinya sendiri bukan ciptaan sejarah tersebut. Seorang Shylock (rentenir) yang ketakutan, yang bersumpah demi ikatan sejarahnya, yaitu ikatan Kristen-Jerman, untuk setiap pon daging yang dipotong dari jantung masyarakat.

Sebaliknya, seseorang yang antusias dan berhati baik, seorang Germanomaniac dan pemikir bebas, mencari sejarah tentang kebebasan kita di luar sejarah, di dalam hutan Teutonic yang keramat. Tetapi, apa perbedaan antara sejarah tentang kebebasan kita dan sejarah tentang kebebasan babi hutan bila kebebasan tersebut hanya dapat ditemukan di hutan? Selain itu, hutan akan selalu menggemakan apa yang kita teriakkan. Jadi, kedamaian bagi hutan Teutonic yang keramat!

Perang bagi situasi-situasi di Jerman sekarang ini! Mereka [situasi di Jerman – catatan penerjemah] berada lebih rendah dari level sejarah, mereka berada di bawah kritik apapun, tetapi mereka tetap merupakan objek kritik seperti seorang kriminal yang berada lebih rendah dari level kemanusiaan tetapi tetap merupakan objek dari algojonya. Di dalam perjuangan melawan situasi-situasi di Jerman tersebut, kritik bukanlah gairah dari kepala, tetapi merupakan kepala dari gairah. Kritik bukanlah sebuah pisau bedah, tetapi merupakan sebuah senjata. Objek dari kritik tersebut adalah musuhnya, yang dia tidak ingin buktikan salah, tetapi dia ingin hancurkan. Karena roh dari situasi tersebut akan tersangkal. Situasi tersebut tidaklah layak untuk dipikirkan, dia merupakan eksistensi yang sangat tercela. Kritik tidak perlu membuat hal-hal tersebut jelas untuk dirinya sendiri, karena dia sudah selesai dengan mereka. Dia bukan merupakan akhir [end], tetapi hanya merupakan jalan [means]. Penderitaannya yang esential adalah kemarahan, tugas pentingnya adalah pengutukan.

Rabu, 03 Desember 2008

DPW PKB SUMUT

Kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Sumatera Utara terletak di Jalan Menteng VII, Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai. DPW berkedudukan sebagai unsur pelaksana pada tingkat provinsi yang bersifat kolektif, dan bertugas untuk menyelenggarakan fungsi teknis partai di wilayah provinsi tersebut. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di wilayah provinsi, DPW PKB SUMUT menyelenggarakan kegiatan Musyawarah Wilayah, Musyawarah Kerja Wilayah, Musyawarah Pimpinan Wilayah.
Untuk memperluas dan membesarkan pengaruh partai di tingkat provinsi, DPW membentuk suatu tim yang bertugas mencari figur-figur di tiap-tiap daerah tingkat II (kabupaten/kota) yang kemudian direkomendasikan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan disahkan untuk menjadi pengurus partai di tingkat II (kabupaten/kota). Organisasi pada tingkat kabupaten/kota dinamakan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Setelah terbentukya DPC pada suatu kabupaten, maka pihak DPW menginstruksikan kepada pengurus DPC untuk mencari figur yang akan di rekomendasikan dan disahkan untuk menjadi pengurus partai di tingkat kecamatan., organisasi pada level ini dinamakan Dewan Pengurus Anak Cabang (DPAC).
DPW PKB SUMUT pertama kali ditetapkan di Jakarta pada tahun 1998, ketika itu pengangkatan ketua masih bersifat sementara karena hendak mengejar terpenuhinya persyaratan sebagai parpol peserta pemilu pada tahun 1999. Yang menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro pada saat itu adalah H.Basyar Harahap,BA dan sekretarisnya adalah Drs.Puligong Siregar. Sedangkan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Tanfidz pada saat itu adalah H.Pulokot Siregar, dan sekretarisnya adalah Drs.H.Marwan Dasopang. Mereka itulah tokoh-tokoh yang mendirikan PKB di SUMUT. Lama masa jabatan mereka adalah tiga tahun (1998-2001), karena pada tahun 2001 DPW PKB SUMUT pertama kalinya melakukan Musyawarah Wilayah (Muswil I).
Muswil pertama DPW PKB SUMUT diadakan di Kota Medan pada tahun 2001, dimana hasil Muswil tersebut menempatkan H.Baharuddin Lubis,SH sebagai Ketua Dewan Syuro dan sekeretarisnya adalah Drs.H.Muchlis Jusuf. Dan yang menjadi Ketua Dewan Tanfidz setelah Muswil adalah H.Aris Azhari Siagian,SH dan sekretarisnya adalah Drs.H.Marwan Dasopang. Adapun lama masa jabatan pengurus DPW PKB SUMUT setelah Muswil I selama lima tahun.
Karena PKB dilanda konflik internal, maka lama masa jabatan pengurus DPW PKB SUMUT yang ditetapkan melalui Muswil I tidak sampai lima tahun. Pada tahun 2004 DPP PKB mengambil alih kepengurusan DPW PKB SUMUT, mengganti Ketua Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz dengan sebuah tim yang bernama Tim Restrukturisasi. Tim ini diketuai oleh Dr.H.Lalu Misbah Hidayat,Msi, dan jabatan sekretaris dipegang oleh Drs.H.Marwan Dasopang. Pada caturwulan kedua tahun 2004, pihak DPP PKB mengganti nama Tim Restrukturisasi menjadi Tim Caretaker. Selama tiga tahun berturut-turut DPW PKB SUMUT dipimpin oleh Tim Caretaker, namun setiap tahunnya susunan kepengurusan yang ada dalam tim tersebut berganti-ganti.
Jabatan ketua dan sekretaris pada Tim Caretaker I masih dipegang oleh Dr.H.Lalu Misbah Hidayat,Msi dan Drs.H.Marwan Dasopang, durasi kepemimpinan Tim Caretaker I adalah satu tahun (2004-005). Pada tahun 2005 DPP PKB merubah susunan pengurus yang ada dalam Tim Caretaker I, dan menganti nama menjadi Tim Caretaker II. Adapun yang menjadi ketua dan sekretaris Dewan Syuro yaitu Dr.H.Lukman Damanik,SH dan Drs.Rabu Alam Syahputra,SK. Sedangkan ketua dan sekretaris Dewan Tanfidz di jabat oleh Drs.H.Marwan Dasopang dan Drs.Abbas Nasution, lama kepemimpinan tim ini juga satu tahun (2005-2006). Pada tahun 2006 DPP PKB kembali merubah susunan pengurus yang ada dalam Tim Caretaker II dan juga mengganti nama menjadi Tim Caretaker III. Nama-nama pengurus yang ada dalam Tim Caretaker III hampir sama dengan Tim Caretaker II, hanya jabatan sekretaris Dewan Syuro yang di ganti oleh pihak DPP—dari Drs.Rabu Alam Syahputra,SK menjadi Taufik Lestari, lama kepemimpinan tim ini juga satu tahun (2006-2007).
Pada tahun 2007 DPW PKB SUMUT mengadakan Muswil II di Kabupaten Mandailing Natal, dan hasil dari Muswil II tersebut menempatkan KH.Kasmir Pulungan sebagai Ketua Dewan Syuro, sekretarisnya H.M.Lisanuddin Sabima. Ketua Dewan Tanfidznya adalah Drs.H.Marwan Dasopang, sekretarisnya Drs.Abbas Nasution. Setelah selesai Muswil II maka terbentuklah susunan pengurus DPW PKB SUMUT selama lima tahun kedepan.
Lagi-lagi karena dilanda konflik internal, kepengurusan DPW PKB SUMUT yang terbentuk melalui Muswil II hanya bertahan selama setahun saja. Pada tahun 2008, tepatnya bulan Juli, DPP PKB mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Perubahan terhadap kepengurusan DPW PKB SUMUT. Dimana isi SK Perubahan tersebut menerangkan pergantian Sekretaris Dewan Syuro—dari H.M.Lisanuddin menjadi Abdul Jabbar,SE, pergantian Ketua Dewan Tanfidz—dari Drs.H.Marwan Dasopang menjadi Drs.Abbas Nasution, dan pergantian Sekretaris Dewan Tanfidz—dari Drs.Abbas Nasution menjadi Drs.Ance Selian.
Setelah sepuluh tahun berdirinya PKB di SUMUT (1998-2008), saat ini kepengurusan PKB ada di tiap-tiap Kabupaten/Kota di SUMUT yang berjumlah 28 DPC. Sedangkan untuk tingkatan kecamatan, sebelum terjadinya konflik internal PKB baru-baru ini ada di tiap-tiap kecamatan dalam Kabupaten/Kota. Tetapi karena konflik tersebut kepengurusan PKB di tiap-tiap kecamatan dalam Kabupaten/Kota di SUMUT hanya menyisakan 50%. Hal ini disebabkan karena banyaknya pengurus DPAC yang mengundurkan diri setelah konflik internal partai mereda, ada juga yang pengurus DPAC nya dibekukan oleh DPW PKB SUMUT.
Pada kepengurusan yang sekarang ini, kelengkapan partai tingkat provinsi yang bernama biro ditiadakan, karena agenda pertama yang dilakukan oleh DPW PKB SUMUT saat ini adalah mencari figur-figur yang akan diangkat menjadi pengurus partai pada tingkat kecamatan. Adapun kelengkapan partai yang tersisa hingga saat ini adalah yang bernama Badan Otonom (BANOM), dan nama-nama BANOM yang ada yaitu GARDA BANGSA (Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa), PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa), dan LPP (Lembaga Pemenangan Pemilu). Dan yang menjadi agenda kedua DPW PKB SUMUT setelah terbentuknya seluruh DPAC tiap-tiap kecamatan dalam kabupaten/kota yang ada di SUMUT adalah menyusun dan membentuk kelengkapan partai (biro), lembaga-lembaga, dan badan otonom untuk tingkat provinsi.

Selasa, 02 Desember 2008

Obama Is Not A Muslim

By Sumbul Ali-Karamali


was recently conversing with a local schoolteacher, a thoughtful woman I admire, when she exclaimed, "I would love to talk to you more when we have time! I mean, I’d love to know what you think about Obama, since he’s black and, oh, well, Muslim."

I’m afraid my face must have communicated the sudden blankness of my thoughts. Obama may be black, but he’s not Muslim. I am Muslim, but I’m not black. My momentary lack of response reflected the disconnect in the logic of her statement.

I do understand, as a troubling number of Americans do not, that Barack Obama has never been Muslim. Merely living in Indonesia does not cause metamorphosis Islamica, some (imaginary) loathsome disease to be contracted from environmental contact. Wearing Somali dress in a laudable attempt to show multicultural respect is not proof of religious convictions. Attending a madrasa as a child does not a Muslim make, since madrasa is simply the Arabic word for school and, as such, can be applied to Harvard Law School with as much accuracy as it can be applied to a Taliban religious school.

I understand all these points. That is why I admit to difficulty understanding why the hazy suspicions surrounding Obama’s connection to Muslims have not dissipated. To be a Muslim, it is absolutely necessary to believe in this declaration of faith: "There is no god but God and Muhammad is the messenger of God." The first phrase signifies belief in one God, the God, as opposed to many gods. The second phrase indicates belief that Muhammad, the prophet of Islam who died in 632, was the messenger of God who brought God’s word to his fellow humankind.

Obama has unequivocally stated that he is not a Muslim. If he does not believe in the declaration of faith, then he cannot be Muslim.

Amongst the many flying rumors is one that goes like this: because Obama’s father was Muslim, Obama is Muslim, too – no matter what he personally believes. But this is not true. In Islam, there is a presumption of faith based on parentage. In pre-modern societies of all faiths, religion was one of many factors that contributed to identity and citizenship. Therefore, there were rules regarding religious adherence. But it is only a presumption. It is rebuttable by faith itself. The definition of a Muslim is not "someone whose father was a Muslim." Rather, the definition of a Muslim is someone who believes that there is only one God and that Muhammad was the messenger of God. Obama does not fit this definition.

What I find most troublesome about this entire subject is the xenophobia involved. After all, even if Obama were a Muslim – which he has repeatedly denied – why would that be so catastrophic?

As an Indian-American, Muslim, female, corporate lawyer and author, I typify American Muslim women far more accurately than the do the images of the black-clad, oppressed Muslim women featured in the media. I am just as American as my Irish-Catholic best friend. I speak English with a standard West Coast American accent. I have no first-hand memories of the country from which my parents emigrated. Yet, I was recently asked by a new acquaintance whether I would "go back" to the Middle East, since I was Muslim.

Well, I am not from the Middle East. I’m from Southern California.

This attitude does enable me to empathize with the probable feelings of Victorian English Catholics. In 19th century England, English Catholics paid an extra tax for the privilege of remaining Catholic and not belonging to the Anglican Church. They were often viewed as treasonous because of suspicions that their allegiance would belong to Catholic France or Catholic Spain rather than to England, the country in which they were born and raised.

American Muslims are already integrated into American society. We don’t get much of a voice in the media, but we are, as a group, middle class and mainstream. Only about 15-20 percent of us attend the mosques in the U.S. – not because we’re unobservant, necessarily, but (in many cases) because mosques since the early 1980s have come under the influence of Saudi-type Islam, which is just not what most American Muslims are about. The Pew Research Center notes that we are "decidedly American in [our] outlook, values, and attitudes."1 Moreover, our allegiance is not to the country our parents or grandparents emigrated from, but to the United States – our own country.

During World War II, Japanese Americans were sent to internment camps because they were presumed to be loyal to Japan (no matter how many generations their families had lived in America). The destruction of the World Trade Towers was a type of Pearl Harbor, casting suspicion on American Muslims this time instead of Japanese Americans. But al-Qaeda is no more representative of Islam than the Ku Klux Klan is representative of Christianity.

So even if Obama were a Muslim, he wouldn’t be any less American or any less intelligent or any less competent. The unabating furor reminds me of how John F. Kennedy’s Catholic faith was considered a factor in his presidential campaign.

Obama’s childhood years in Indonesia are a factor in his campaign, too. But why a negative factor? Should we not wish for a president with global understanding? The President of the United States interacts not only with Americans, but also North Koreans, Russians, Iranians, and people of all faiths and nationalities. Should we not aspire to bridge cultural gaps and elect a president who views the world through a big-picture, worldwide, multicultural lens rather than through a narrow one limited to his own faith and background?

Several of my acquaintances have tried to convince me over the years that I should send my children to Catholic schools. "No," I say, "we have good public schools; I’d rather just send them there." Someone actually said to me in response, "Well, going to mass and taking religion classes won’t force your children to be Christian or anything!"

Yet the thought of Obama attending both Islamic and Catholic schools in Indonesia strikes fear into some hearts. Instead, it should give us hope that finally we might just have a president who would know how to communicate with the leaders of both Muslim and Christian countries. It is not civilizations that are antithetical and which must clash – it is the misunderstandings of those civilizations that cause clashes. Perhaps, in Obama, we might have a president who would know better than to characterize post-9/11 military actions as a "crusade."

The tendency to disbelieve Obama’s unequivocal statements that he’s a Christian reminds me of what Norman Daniel writes in his history of Western perceptions of Islam: "It was with very great reluctance that what Muslims said Muslims believed was accepted as what they did believe."2

Of course, Obama isn’t Muslim, so I guess that analogy doesn’t apply.

1 Pew Research Center, "Muslim Americans: Middle Class and Mostly Mainstream," May 22, 2007.
2 Norman Daniel, Islam and the West: the Making of an Image (Oneworld 1960), p.291.

Sumbul Ali-Karamali grew up in California frequently answering difficult questions about Islam and its practices posed by friends, colleagues, and neighbors. ("What do you mean you can't go to the prom because of your religion?") She holds a B.A. from Stanford University and a J.D from the University of California at Davis and earned a graduate degree in Islamic law from the University of London's School of Oriental and African Studies. She has served as a teaching assistant in Islamic Law at SOAS and a research associate at the Centre of Islamic and Middle Eastern Law in London.

Economy May Force Obama to Cut Back on Green Pledge

by John Kerry

Barack Obama, who promised last week to write a "new chapter in America's leadership" on the environment, could find his hands tied by the economic crisis, a leading figure in global climate change negotiations said yesterday.

John Kerry, who will lead the US Senate's delegation to the UN's climate meeting in Poznan, Poland, next month, said his country was now in a position to play a leading role on global climate change negotiations. But he also said Obama's administration would be constrained by the economic crisis in offering incentives to countries such as India and China to commit themselves to lower greenhouse gas emissions.

"We have to figure out what is achievable ... within one year, given our economic realities," Kerry said. "The bottom line is we are not going to be in the position we were two years ago in the short term to do as much technology transfer or economic assistance in terms of transitional issues that might have led other countries to participate."

The caution came amid rising expectations on the eve of the two-week UN meeting, which begins on Monday, about the prospects of negotiating a successor to the Kyoto protocol late next year. Kerry said there would be little negotiation on a treaty at the meeting but it would focus on setting out a timetable leading up to next year's international climate change summit at the Copenhagen meeting. "This is not a negotiation session," he said. "This is a negotiation to set up a glide path going into Copenhagen."

In a video appearance last week before a climate change conference hosted by California's governor, Arnold Schwarzenegger, Obama promised the US would lead the way on the environment.

Kerry reaffirmed that pledge, even with the caveats. "It's a moment we've been waiting for, many of us, for some period of time - for eight years, to be blunt," he said. "And we intend to pick up the baton and really run with it here."

Kerry said Obama had asked him to report back on the meeting in Poland.

The Democratic presidential candidate in 2004, Kerry is scheduled to take over as the chairman of the Senate's foreign relations committee in January. That puts him in pole position for lining up support in Congress behind a successor to Kyoto. "It's going to be one of the top priorities of the committee," Kerry said. "I know this playing field and I know this issue."

Kerry said Obama was making progress in filling the environmental portfolios in his administration, and in coordinating with working committees in Congress. Obama will not be in Poznan. His position since the election has been that America has only one sitting president at a time. But the focus has already shifted towards the potential actors in the next administration.

On the American side, Kerry is to be joined at Poznan by the Minnesota senator Amy Klobuchar, an early supporter of Obama, who has been active on the environment. George Bush will be sending his regular negotiators to Poland for the final climate change conference of his administration. The US delegation will be led by the undersecretary of state, Paula Dobriansky. Jim Connaughton, the White House adviser on the environment, will also attend. The US delegation was heckled at last December's climate conference in Bali.

The Meaning of Independence

By Joseph Farah


Today is July 4, 2008. It has been 232 years since the drafting and signing of the Declaration of Independence by America's founders.


That's why some of us – too few, really – call the holiday we commemorate today "Independence Day." That is, indeed, the actual name of the holiday.


It's not just the Fourth of July. It's not just the day we shoot off Chinese-made fireworks. It's not just the day we barbecue burgers. It's not just the day we go to the beach. It's Independence Day – so named because on or about this date in 1776, a group of courageous men risked their lives, their fortunes and their sacred honor for a dream of freedom and sweet autonomy from an imperial power.


By the way, it wasn't just the birth date of American freedom. It was the birth date of freedom around the world. That's why the French called George Washington not just the founding father of the American Revolution, but "the father of freedom." He was truly the inspiration for freedom fighters everywhere.
We ought to mark this occasion with some real reflection – even some solemnity and sobriety.


Unfortunately, too few Americans today put much value in independence. Most no longer celebrate, cherish or appreciate independence. Independence is not considered an ideal.


It is with this sad recognition in mind that I strongly recommend you purchase a copy of a book by my friend and colleague Jerome Corsi. It's called "The Late Great USA," and it is the definitive expose of a semi-secret effort to subvert American independence and sovereignty by integrating the U.S., Canada and Mexico into another European Union-style superstate.


It comes at a critical moment in U.S. history. Both major-party presidential candidates this year believe global interdependence is the way of the future for America. Remember, when you hear that word "interdependence," it is simply a synonym for "dependence."


Our political and cultural elite don't want to see a nation full of independent-minded, self-governing citizens who will hold their leaders accountable to their will and the laws of the land. They would prefer sheep. So they conspired to bring in to America millions and millions more sheep. The idea of an independent, sovereign America governed by the rule of law and the will of the people is anathema to that elite. They would prefer to run the world themselves as oligarchs. Thus, the plans for consolidation, regionalization, globalization, the end of nation-states.


The sad truth is the American dream of independence has been betrayed. Americans are worse off today, in terms of individual freedom, than they were before the War of Independence. In fact, take a look at the dictionary definition of "colony" and see if it doesn't apply to us today.


colony: 1) a group of people who settle in a distant land but remain under the political jurisdiction of their native land 2) a territory distant from the state having jurisdiction or control over it


Aren't Americans, in a sense, all colonists of the great imperial throne in the District of Columbia? We all pay tribute to this faraway empire. We are, in reality, little more than serfs doing the bidding of those in the federal corridors of power in Washington. We're taxed without real representation. We're forced to support a growing standing army of federal police in our communities. And we face a growing threat of disarmament – one of the great fears of the colonists who touched off the American Revolution at Lexington and Concord.


What do you think?


Are we better off today than our forefathers were in 1776?


Are we living freer lives today than were the founders?


If George Washington and Thomas Jefferson could return today to see America – the tax rates, the overreaching central government, the subservience of states to Washington, the non-limitations on the federal government – would they consider us free? Would they consider us independent?


Is American sovereignty and independence still worth a fight?


What are you willing to risk? What are you willing to sacrifice today in the name of freedom and independence?

_____________________________

Those who are too smart to engage in politics are punished by being governed by those who are dumber. --Plato